17 Desember 2009

halah....

Bila kau menangis, apakah karena it u sedih? Bersyukurlah sebab Allah merahmati mahkluk-Nya.

02 November 2009

Tragedi Yang Komedi

Tuhan telah menganugerahkanmu,
Jejalur hidup
yang lebih indah untuk tiap hamba-Nya
Takdir dunia itu hanya cara
Yang mesti dihitung,
Bagaimana jalan itu menjadi lebih indah
dari rencana yang telah ada.
dan,
Hanya kesabaran
Yang menjadikan cerita ini sebagai kisah tragedi yang komedi.

LET ME SILENT

HATIF

28 Maret 2009

Tak Terduga

Mana tahu apa terjadi
Semua berjalan tanpa pasti
Karena manusia bukan yang memastikan

Terjadilah tanda kematian
Rontaan pergi entah kemana terdengan dari mulut kecil itu
Semua memegang menegang kawatir
Pucat sudah setiap yang berwajah

Tangan dinginnya membawa rasa takut
Takut membayang yang terjadi
Tutup mata yang melihat
Sedang dia lemah mendengkih

Bercepat menolong
Tapi gobloknya kami
Apa yang musti dilakukan
Selain kami mendoakan

Oh, ya Syafi’ ya mu’in
Beri kesembuhan
Kasih pertolongan

Srono, 08 Januari 2009

Tak Terduga

Mana tahu apa terjadi
Semua berjalan tanpa pasti
Karena manusia bukan yang memastikan

Terjadilah tanda kematian
Rontaan pergi entah kemana terdengan dari mulut kecil itu
Semua memegang menegang kawatir
Pucat sudah setiap yang berwajah

Tangan dinginnya membawa rasa takut
Takut membayang yang terjadi
Tutup mata yang melihat
Sedang dia lemah mendengkih

Bercepat menolong
Tapi gobloknya kami
Apa yang musti dilakukan
Selain kami mendoakan

Oh, ya Syafi’ ya mu’in
Beri kesembuhan
Kasih pertolongan

Srono, 08 Januari 2009

02 Maret 2009

Mesti Menghitung Lagi

Hidup,
Masih harus kulalui lagi
Kalah yang tertahan kebohongan
Lemah yang tertutup keras hati
Terselubung dengan rapi,
Lemahku sebagai pemegang janji
Disini,
Aku masih menghitung dengan pasti
Berapa masa lagi?
Rasa itu tak mati

Hidup,
Hampir lima masa
Entah kapan akhirnya.
Yang kutahu,
Biar masa itu berlalu tanpa ku menyengaja

Hatif

11 Februari 2009

PERJALANAN PANJANG JALANG MENYIKSA LANTANG

Abusake
Ruang kosong berawal pijak. Merambat ruang lain. Penyelesaian yang mengesalkan-menyesalkan. Tapi tanggungan, melewati jalan panjang jalang.
Berjalan jauh di sisi jalan. Jalan panjang jalang. Lurus kelok satu berganti. Berubah-ganti pula ke tengah ruas jalan liku. Lelah kaki bertapak. Melelahkan tubuh berpenat. Selangkah-langkah menuju ruang lain. Berpindah sejengkal maju tanpa mundur. Bertempuh lajang. Ruang tunggal. Ruang lain. Ruang yang bukaan kosong.
Jalanan amat jauh. Berliku juga menjemukan. Naik dan turun. Lebar dan sempit. Berjejal dan luas. Panas dan rindang. Berkelok dan lurus. Datar dan berlubang ceruk-ceruk. Bopeng tak berupa. Rupa raut loreng lumpur campur.
Kaki lelah menapak. Bunyi sendi merutuk. Setapak-tapak kaki berbekas menggilas. Mengecap kaki raksasa yang geram seram. Muka lesu tertunduk masi. Langkah rasa gontai. Bergerak tak atur.
Dahi berpeluh. Siang terkutuk. Keringat merembes luar kulit. Kain sandang basah. Panas menyengat bak api bara. Tidak ada apa-apa terik kini. Hanya kekosongan dan jauh-panjang jalan jalang. Juga kapan sampai jadi tanya-tanya tiap persimpangan. Bila tak menyimpang ruas dan ruang. Tertuju adalah ruang lain. Ruang penyelesaian berkepanjangan tak kepalang.
Lamat jauh, ada rindang. Nanti akan tersusuri. Pasti. Merambat kaki menuju. Cukup sejuk dinikmati, sementara. Bayangan hilang dilindungi teras pohon berbolong. Lelah terbuai sesaat. Bangkit dari duduk. Melangkah lagi. Lagi. Lagi. Menuju ruang lain.
Orang bernaif. Orang pinggir jalan menantang. Gelandang ada. Penuh tanya dan pandang. Jijik.
Tiba-tiba mendung. Bumi berpayung. Angin menyembul-nyembul. Dingin merasuk. Meringankan perjalanan panjang jalang. Persendian berkurang linu. Piyu. Piyu. Bekal pun habis. Terkikis lapar-lapar pagi sore.
Jalanan mengiksa. Berat terasa. Berpeluh kaki melepuh. Siksa atau coba. Hampa rasa saat rintikan tangisan mendung memburai. Semburat beleduk tanah menguap. Tak bermakna apa. Selain jalan tetap jauh menyiksa. Telah senja tiba. Saat petani berpulang ke griya. Sendirian adalah ketakutan. Bayang-bayang malam gulita.
Ini menyiksa. Dimana tempat berteduh sekarang. safar tatap jauh. Tak ada tempat hinggap. Seremuk gubuk pun tak jumpa. Hujan semakin gila. Ia meraung menangis. Meronta minta tumbal. Akan banjir nanti. Sebongkah tubuh basah. Tak ada manusiapun di ruang sebelum. Hanya sesosok sedari tadi berjalan. Bertuju ruang lain. Perjalanan menyiksa berat. Tidak ada dewa penolong. Lelap berpeluk dewi.Tidak ada pohon. Tumbang cium tanah. Gelap mulai menyapa. Berbayang-bayang rupa-rupa tak berupa-rupa nyata.
Akan seperti apa malam. Sunyi. Atau tidak sama sekali. Mungkin akan banyak derit-derit dari pintu langit. Hati berteriak takut. Dalam kegelapan, apa yang dapat dibayangkan selain bayang-bayang. Sesuatu yang nampak dan tak nampak. Akan berkelebat terus. Telah sangat malam ruang sebelum. Ketika cekikik binatang pun telah sirna. Bintang tidak ada di langit. Langit tutup tirai. Berganti kapas tebal bertetes-tetes. Rembulan juga telah cuti. Malam masih hujan dan tetap. Mendung hitam masih meraja lela. Meski mata tak tampak apa. Hanya nyana. Ini gelap gulita. Syaraf kaki masih bisa rasa di jalur hendak. Sebuah ruang jauh.butuh pengorbanan jalan jalan panang menuju ruang. Ruang lain.
Mata kaki, telapak kaki, betis, paha rasa berat. Hendak lumpuh. Tapi jalan masih jauh. Apa lagi ruang itu. Daging ini lengkap menggingil. Dingin membeku biru.darah tak lagi hangat. Darah dingin. Darah turun membawah. Gemetar tak ampun. Kilasan kilat berkelabat di benak. Menakutkan dan menyeramkan. Ambruk. Diam. Lelah. Kaku. Bayangan kematian. Mati dan dekat mati. Apa bakal terjadi. Ingat pula pencipta.
Lara sudah tubuh. Tersadar oleh dingin waktu. Ini pagi atau malam yang tadi menghantui. Ini tak tampak lagi apa. Selain putih yang pekat. Lebih pekat dari malam. Ini kabut pagi yang putihnya menggurita. Suara-suara aneh bersautan. Entah berdendang atau menjerit. Lebih menakutkan dari malam.
Daging ini dari dingin, meski tetap tak mampu. Tak ada api di dimensi ini. Hanya beku-beku kaku-layu. Semalam rupanya kematian hanya bertandang, tidak untuk menjemput. Kematianpun tak pamit bila hendak pergi.
Gedup jantung berrhenti. Urat-utar mati. Tubuh berdiam diri. Kaku. Bayang-bayang gelap menyeringai. Bayang-bayang melayang. Bibir menganga. Mengatup ulang-ulang.
Tubuh masih kaku. Kini mencoba tegak. Memajukan kaki kanan. Sesenti. Kiri menyusul. Dua senti. Berat nian jasad. Kembali melangkah tapi merapat. Terkecuali hasta yang menyandar membantu menongkat.
Perjalanan ini menyiksaku. Tak ada kuda lewat. Tak ada orang berbagi. Benar sepi. Hampa. Terhina. Terbawah. Linglung kemana ruang itu. Ruang tujuan penyelesaian. Penyelasaian tanggung jawab dan pengorbanan. Ruang dimana dulu banyak orang lalai. Melamun dan bermimpi juga bersuka ria.
Ruang itu bagi orang kenangan. Tapi tidak bagi daging. Ini tugas akhir yang mesti tuntas. Ruang tujuan dan kebahagian. Suatu penyelesaian titah. Siksa mengawali. Lalu menang. Alam menyiksa. Mengarah ruang. Menyelesaikan emban.
Jalan jalang panjang. Daging bergelandang bertentang alam. Maju sekaligus terseok-seok. Jalan ini jadi licin seolah belut yang merongrong lumpur. Lumpur muncrat terpijak. Perjalanan ini adalah menyiksa. Berhati agat tak terjungkal. Lalu jatuh seperti malam-malam.
Hati remuk. Tergerus kesendirian pada jalan panjang jalang. Mana ada kuda. Melonglong diam tak suara. Hanya mata-mata yang kelayap. Menunggu apa. Bukan bintang. Bukan orang Tapi perantara ke ruang.
Rinai nian membesar. Sebiji jagung yang gugur. Menabuh tanah. Tak ada genting disini. Katakan tak ada atap. Hanya rambut yang sudah kuyup.
Daging tubuh menguap tidak saja mulut. Menggigil bersama mulut kelu. Hampir mata rasa sendi. Peringatankah? Ketaktertolongankah? Kesepiankah? Jalan ini menyiksa. Sedari lalu. Tanpa petuah. Hanya ingin sampai ke ruang.
Air menggenang tumpah. Seperti air mata kesedihan.
Duh bahagia bisa berpulang. Berjumpa ruang kosong. Ada kuda putih yang menolong. Membawa pergi ke asal. Ke kehampaan. Ke ketenangan. Ke kekosongan. Ke keteradaan. Bukan mati. Sampai tujuan yang paling akhir. Yang merupakan awal.

Puisi Kematian

Hawa dingin di pucuk tangan kaki
Semua gelisah
Teriakan takut
Bacaan doa
Getar kekawatiran
Diam ketakutan
Berlebur dalam ruan itu
Sembari semua tetap berlalu, semua berharap
Kematian tak usah kemari
Biar kapan waktu saja
Jangan hari itu
Tubuh yang lemah tak daya
Bersuara rintih lirih dekih
Ada sesuatu di balik sesuatu
Yang gaib dan yang nyata
Rasio dan spiritaual seolah menjadi sebab
Tapi entah yang mana
Hanya menduga tak pasti




Jalanku sekarang menyengangkan
Meski sore ini hujan
Aku berteduh
Berbincang dengan ....

09 Februari 2009

Aku Rindu

Sayang, aku tak bisa jumpa denganmu
Padahal aku ingin sua kau
Bertukar hati dengan pisau bahasa
Untuk merindu dan bercinta
Kasih, kau sehat kan?
Sayang, kau senangkan di sini?
Hubungan yang aku rhasiakan ini,
Begitu indah kunikmati,
Lebih mudah bagiku,
Untuk menyapa dan membahagiakanmu,

Abusake
Di malam malam, 03 Januari 2009
Banyuwangi Kota

Terserang Argument

Egoismeku terserang argument
Aku menjerit dalam hati
Ini adalah siksaan mental
Aku tak berkutik
Sebenarnya apa aku terlalu idealis
Entah
Tapi aku pun belajar sederhana

Aku dikeroyok
Oleh pikiran-pikiran lain
Aku didesak
Sebenarnya akukah yang keliru atau mereka

Tapi aku sadari
Aku juga salah
Tapi aku juga jengkel atas kebodohan mereka
Atau tetap saja dengan tanya yang sama:
Akukah yang bebal

Abusake
Srono, 14 Januari 2009-01-14.
Untukku yang siap berjuang dengan segala kurang.
Demi menang!

05 Januari 2009

Haru Anak Tiri

Sangat indah
Kalimat pujian yang tersirat
Untuk kami para anak tiri
Padahal,
Anak tiri terbiasa sendiri
Bertarung dengan hari yang selalu sepi
Dari kasih sang ibu terkasih
Haru terasa
Kala diemaskan oleh yang sudah jaya
Bisik semua yang tiri,
"Yang lain mengamini?
Kala sang jaya memuji
Kami takut yang ada tak peduli
Dengan sang jaya yang menjunjung kami
Jangan-jangan,
Yang lain ikut meremeh sang jaya
Yang terbiasa dipuja"
Tapi tak apa,
Haru tak mampu diucap kata
Hanya air mata,
Mungkin lebih mampu berkata suka.

Hatif