12 Desember 2008

Rasa itu takkan sama

Senja menguak sinarnya yang hampir beku termakan malam yang mulai menyala, menyorot ujung sajadah pemberian kawan yang tak sedikitpun terlewat dari kenang berkepanjangan. Yah, hari itu Asma mengajakku mampir ke musholla universitas. Tempat yang tak asing di telinga, namun tempat itu tak cukup mudah kuingat dalam hati.Aku seorang muslimah, hanya dalam formulir penerimaan mahasiswa baru. Atau kalau tidak, status itu tertera pada KTP-ku. Sore itu aku mengantar Asma menunaikan sholat Ashar, dan baru kali pertama kulihat ada orang sholat sekhusyu' itu. Airmata yang tersembunyi dibalik senyum ramahnya mengalir begitu indah, sejuk di pandangan. Masalah sedang mengganggunya, kukira waktu itu. Saat kucoba mencari kebenarannya, senyum indah yang biasa kudapat kembali terlihat.
" Apakah air mata hanya untuk sebuah masalah,? "
Sama sekali tak ada yang salah pada kalimat itu, dan apa yang diucapkannya membuatku berpikir.
" Kita meneteskan air mata ketika berdo'a, sama seperti kita menjalankan sholat. Tidak perlu menunggu masalah yang kita hadapi "
Satu kalimat lagi yang sedikit menyindirku, meski aku tahu dia tak bermaksud demikian. Ada banyak hal yang kudapat dari pribadi lembut itu, kepatuhan tanpa ada rasa dirugikan. Semua dilakukannya dengan ketulusan, tanpa merasa dibebani dengan aturan agama yang menurutku melelahkan. Aku semakin mengakui kelebihannya yang memang sepenuhnya tak kumiliki. Tapi degan lebih dekat dengan Asma, bagiku itu mengurangi rasa ketidakrelaanku saat Amru menolak pernyataan cintaku yang kuutarakan dengan tertatih-tatih seminggu sebelumnya. Sebagai seorang mahasiswi yang realistis, aku tak bisa dengan picik membenci Amru ataupun Asma yang waktu itu sedang didekatinya. Aku harus bisa melihat kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri Asma, dan mencari cara untuk meyakinkan diri bahwa aku memang tak seharusnya menaruh rasa pada orang yang tidak merasakan hal yang sama.Saat itu aku memang tak mengatakan apapun padanya, kumanfaatkan sanggar sastraku untuk bertanya banyak tentang aktifitas seorang aktifis lembaga sosial yang kubilang menjadi tokoh utama pada pementasan teater kami dua minggu setelahnya. Hatiku sedikit terusik, ada dingin yang tiba-tiba serasa menggerakkan seluruh sum-sum tulangku. Lisan tak begitu kelu untuk mengucap kalimat Astaghfirullahal 'adzim, sedikit air mata menggenang di pelupuk mata dan tak berani kutampakkan di depan Asma. Hari itu aku memberanikan diri masuk ke dunia milik para mahasisiwi berjilbab.
" Boleh kupinjam mukenahmu,? " pintaku singkat
" O, pasti. Tentu kamu tak ingin melewatkan waktu ashar ini kan,? "
Hanya kuanggukkan kepalaku untuk menanggapi pertanyaan Asma. Daripada nanti aku salah bicara, pikirku. Dengan langkahku yang sedikit ragu, kuberanjak menuju musholla berukuran 4 x 5 meter dan bercat tembok warna hijau muda yang sejak awal hanya jadi tontonan bagiku. Untuk menunaikan ibadah sholat sebenarnya bukan hal yang sulit bagiku, ibuku pernah membantuku menghafalnya waktu aku akan menghadapi ujian praktek pelajaran agama semasa aku duduk di bangku SD. Hanya tinggal aku yang tak begitu mengenal untuk apa agama itu sebenarnya, semua berlalu begitu saja setelah kedua orang tuaku terpanggil oleh Tuhan yang dulu sempat kubilang tak memahami perasaan hamba-Nya. Kalau kuingat saat itu memang aku benar-benar bodoh, dan tak ada yang mampu memberiku sebuah pelurusan tentang ini. Uh! semua berlalu begitu menjemukan dan bodoh bagiku saat ini.
" Lan, belum mulai juga,? "
Asma mulai mengingatkanku dari teras musholla, mungkin aku sudah terlalu lama berdiri di atas sajadah bergambar ka'bah itu.Mulai kuangkat tanganku, sembari mengucap kalimat Allohu Akbar lisan dan memantapkan hati mengakui lalai hidupku.
Hari inipun sama, dengan rasa yang tak berubah. Hanya ketenangan semakin menaungi batin yang sejak dulu gundah tak menentu, itupun setelah aku bergabung dengan sebuah jama'ah mahasisiwi muslim di kampus. Lagi-lagi Asma yang mengajakku, dia memperkenalkan dunia serta teman-temannya yang tak kuketahui sebelumnya. Hari itu tepat di usiaku yang ke dua puluh dan kurayakan dengan memberi bantuan dana pada lembaga sosialnya, itupun berkat usulannya.
" Mereka ini anak-anak yang aktif di yayasan ini, kami juga mengadakan acara religi setiap satu bulan sekali. Yah, siapa tahu kita sempat lengah terhadap keikhlasan kita dalam beramal, "
Aku hanya tersenyum, aku serasa menjadi orang terbodoh dalam petemuan itu.
" Kalau di jama'ah, apa saja yang dilakukan,? " tanyaku mulai tertarik
" O, kalau itu kita biasanya dzikir bareng-bareng. Biasanya malam jum'at " seorang mahasiswi yang kerap kali kutemukan di rapat BEM menjawab.
Kupandangi para jilbaber itu lebih dalam, ada ketenangan yang mereka miliki dan tidak kumiliki. Aku bisa merasakannya, kepasrahan yang terpancar dari hati mereka.
" Subhanallah, keindahan ini kapan kumiliki,? " ucapku sekedar berbisik di hati.
Aku mulai melihat keadaanku yang terlihat bodoh. Celana jeans ketat, T-shirt di atas pinggul, serta rambut sebahu yang diikat.
" Ah! Apa-apaan aku,? " gerutuku dalam hati
Sejenak tak ada perbincangan di antara aku, Asma, dan dua orang anggota lembaga sosial itu. Mungkin mereka mencoba menerka,apa yang saat ini ada dalam pikiranku? Tapi itu cuma pikiran negatifku, para gadis lembut itu tak bisa berpikir terlalu dalam sepertiku. Mereka orang baik, dan terlalu baik untukku. Kuputuskan untuk masuk dalam dunia mereka, bukan untuk mendekati Asma ataupun mendapatkan cinta Amru. Tapi untuk cinta lain yang tak pernah memilih, cinta Sang Pencipta pada hamba-Nya.

Tidak ada komentar: